Kamis, 27 Maret 2014

titik kalimat cinta

Menyeka buih pada lembar berkristal 
Kuncup raip di pedar senja
Nampak ingin berlalu, segera
....
Raut pena seruitkan kata

Cukuplah nirwana jadi penanda
Tuliskan puisi setampan lukisan cinta pertama, Mari


Ialah sisa makna di ujung jalan
Ku pungut dan baluti deret aksara
Kelak tuan, pada genggaman ini
Akan lahir symfoni kasihku
Setitik kalimat cinta dalam do’a, aminkanlah

Jika pengembaraanku tlah sirna
Maka berganti lembanyung pelangi
Saat sukma terpaut pesona di sudut netra

Kau senja yang lain, 
Bias cahaya matamu ialah cinta 
Yang kau lukis berwarna jingga. 
Aku masih kuncup, 
Sebagai bunga melambai dari jauh.

Sabtu, 22 Maret 2014

lamunan



Di ujung jalan
Senja temaramkan jingga
Daun gugur, nafas hampa berdesah


Di balik jendela tak berkaca
Percik hujan merintik datar
Begitu padat makna dibalik isi kepala
Rindau sakau, rancuh tulisan
Mungkin saat ini kau tengah di awan
Duduk di altar malam, pekat.
Mungkin kau terlelap, atau menelangsa bayang.
Adakah kecupmu yang ingin kau jatuhkan?
Sehingga aku tak lelah menengadah.

Senin, 03 Maret 2014

alibi di ujung mati

sepak pedati berpacu
menanti palu menghakimi
jiwa berdebar menanti, kemana kepakan menaungi?

-....-
denting violin meremangi ruang
sayup larik berdesir di sepotong jendela
berpangku lesuh raut di kibas angin
apa gerangan tak serintik hujan menyapa malam?

sedang titian senja berlenggak ayu
menciduk jingga di temaram hari
kemanakah mereka?, bergegas hingga berlari
sisakan tanya pada kelopak mawar berbui sendu
adakah iming berbalut misteri,
hingga kerling kecut mampu tenangkan diri

maka terpasunglah makna, tersirat dalam hati
tentang nada sumbang yang tetap bersimponi
dan cakrawala molek yang setia menutup hari
serta terka mendidih di atas kasa pati

nantikan ku di gerbang abadi
sehabis berkoar nuri pemakan sesaji
setiba kabar kegap gembita itu
nasib tinggallah sepotong alasan mati