Menyeka buih pada lembar berkristal
Kuncup raip di pedar senja
Nampak ingin berlalu, segera
....
Raut pena seruitkan kata
Cukuplah nirwana jadi penanda
Tuliskan puisi setampan lukisan cinta pertama, Mari
Ialah sisa makna di ujung jalan
Ku pungut dan baluti deret aksara
Kelak tuan, pada genggaman ini
Akan lahir symfoni kasihku
Setitik kalimat cinta dalam do’a, aminkanlah
Jika pengembaraanku tlah sirna
Maka berganti lembanyung pelangi
Saat sukma terpaut pesona di sudut netra
Kau
senja yang lain,
Bias cahaya matamu ialah cinta
Yang kau lukis
berwarna jingga.
Aku masih kuncup,
Sebagai bunga melambai dari jauh.
"Wanita; kodratnya menunggu. Dalam diamnya menyulam kata, doanya menjelma kunang dalam remang malam dan ketahuilah, tak akan berhenti lupanya mengenangmu. Meski perih, coretan tentangmu takkan menumui titik"
Kamis, 27 Maret 2014
Sabtu, 22 Maret 2014
lamunan
Di ujung
jalan
Senja temaramkan jingga
Daun gugur,
nafas hampa berdesah
Di balik
jendela tak berkaca
Percik hujan
merintik datar
Begitu padat
makna dibalik isi kepala
Rindau
sakau, rancuh tulisan
Mungkin saat
ini kau tengah di awan
Duduk di altar malam, pekat.
Mungkin kau
terlelap, atau menelangsa bayang.
Adakah
kecupmu yang ingin kau jatuhkan?
Sehingga aku
tak lelah menengadah.
Senin, 03 Maret 2014
alibi di ujung mati
sepak pedati berpacu
menanti palu menghakimi
jiwa berdebar menanti, kemana kepakan menaungi?
-....-
denting violin meremangi ruang
sayup larik berdesir di sepotong jendela
berpangku lesuh raut di kibas angin
apa gerangan tak serintik hujan menyapa malam?
sedang titian senja berlenggak ayu
menciduk jingga di temaram hari
kemanakah mereka?, bergegas hingga berlari
sisakan tanya pada kelopak mawar berbui sendu
adakah iming berbalut misteri,
hingga kerling kecut mampu tenangkan diri
maka terpasunglah makna, tersirat dalam hati
tentang nada sumbang yang tetap bersimponi
dan cakrawala molek yang setia menutup hari
serta terka mendidih di atas kasa pati
nantikan ku di gerbang abadi
sehabis berkoar nuri pemakan sesaji
setiba kabar kegap gembita itu
nasib tinggallah sepotong alasan mati
menanti palu menghakimi
jiwa berdebar menanti, kemana kepakan menaungi?
-....-
denting violin meremangi ruang
sayup larik berdesir di sepotong jendela
berpangku lesuh raut di kibas angin
apa gerangan tak serintik hujan menyapa malam?
sedang titian senja berlenggak ayu
menciduk jingga di temaram hari
kemanakah mereka?, bergegas hingga berlari
sisakan tanya pada kelopak mawar berbui sendu
adakah iming berbalut misteri,
hingga kerling kecut mampu tenangkan diri
maka terpasunglah makna, tersirat dalam hati
tentang nada sumbang yang tetap bersimponi
dan cakrawala molek yang setia menutup hari
serta terka mendidih di atas kasa pati
nantikan ku di gerbang abadi
sehabis berkoar nuri pemakan sesaji
setiba kabar kegap gembita itu
nasib tinggallah sepotong alasan mati
Langganan:
Postingan (Atom)