Minggu, 22 Desember 2013

tarian hujan







Aku butiran air dibibir daun
memetik larik dalam penantian pelangi
silih berganti gerimis jatuh mencumbu ranting
sesekali menetes di atas air keruh tlah jemu

rayuan awan mematikan rembulan
satu persatu warna mulai menari hitam putih
di antara sajak-sajak yang tak terbaca lagi
ku coba berdamai dengan hujan
ku biarkan angin membawa luka ku
biarkan rintik ini yang berkisah padaku

maka tak usah bila kita
menarik benang merah pada kata rindu
katakan saja pada gerimis yang selalu ingin 
diajak berbicara, saat kita tak lagi sama menulis cerita

kini nyanyian ku tlah menyatu dengan tanah
di iringi derai hujan yang ikut berdendang
Apakah aku hujan? Atau sekadar embun di ujung malam?
Pelangi bisa tahu apa bentukku yang sejati.
Dan aku bahagia, karena bisa meremah hujan saat jemari berjauhan

hujan malam ini begitu tenangnya,
bahkan aku tak bisa mengeja bahasanya,
rintik nya serupa penantianku,
sedangkan gemericiknya seirima dengan syair ku,

wahai malam yang menua,
haruskah aku sampai padanya dengan tergesa-gesa?

jangan berlalu, tinggalah dan lanjut berlagu
sebab tarian kita sedang bertalu

aku mulai piawai menari bersama hujan malam itu.



Rabu, 18 Desember 2013

sebab aku


pernah kau menemuiku

saat malam menyelip di sela jendela

dari balik kerudung yang tertiup angin

ku coba menerka ranum senyummu

kini sungguh rupa mu tak maya lagi bagi ku




di depan serambih rumah

tanpa nada suara menyapa

deguk jantung malah berirama

cerita kita mulai bisikkan

romansa indah bertebaran dilangit malam kala itu



ku coba melukis paras mu

di atas daun yang mulai mengatup

sebab ku tahu,

waktu akan mengurung mu kembali dalam jaraknya

hanya sisakan wangi dan jejakmu

yang juga akan terhapus angin

biarkan saja ku jadi kan penenang

saat rinduku mulai meradang



cerita itu berubah alur

setelah waktu tak pernah menyudutkan kita lagi

kini hari ku getir, berujung pasi nun hambar

sehingga kisah kita berkasus mati rasa

menanti jumpa dayung bersambut

namun hanya rasa yang kian berkerut

hanya bisa memanggku senja dalam pelukan malam




aku berlalu melihat kerlingan itu

tapi kau masih begitu

sebab aku telah menelan kisah itu sendiri.

Sabtu, 14 Desember 2013

masih ada

menitik  jeda pada kisah sepenggal
indah cerita sudah buyar tersapu hujan
tinggal ini yang masih basah
sebaris rasa di atas kertas terbakar

bisa ku dengar patah pena yang menjerit
sedang jemari yang meringkik pahit
berhambur serpihnya menyentuh tanah
buta arah sudah pena kesayangan

tinggal kertas yang telah lota
dengan aksara berteteskan darah
di sepertiga malam,
kisah itu pupus terhunus oleh waktu
serpihan yang terkubur membisu 
termakan sendu dan rindu
yang selalu menunggu cerita kembali beralur

hanya pena buta dan secarik kipa yang tertinggal
tinta menghitam dan aksara terbelah
di tepi dergama mungkin ia terjatuh
entah kemana lagi serpihnya berlabuh
hanya jejak yang membekas
mulai samar


Kamis, 12 Desember 2013

bak pemulung

ini susah
meremah sisi-sisa yang tlah berpuing, lagi

kembali memikul asa di balik dada
meniti remang pagi susuri hari
sejumput embun mulai terangkat
jadi satu hingga terikat
sepertinya hari akan kembali penat

tatap sinis merambah di tiap sekat
bagai angin yang lupa jalan ke hulu
tubuh lusuh menari di atas tanah api
jemari pasrah memungut reja
sesekali menseruit kan desah

hari masih saja ada
dengan bahu yang nyaris mencumbu tanah
mentari menyeringai
enggan berganti, tertutup awan apa lagi
setelah embun, sisa lain tersentuh


ini sungguh susah.
memungut kembali retakan yang tlah menjadi debu
menyulamnya menjadi satu labirin utuh
lalu memamerkan di atas etase berhias manik merah
ahh. ikut retak mungkin akan lebih mudah dan biar jadi sisa


Rabu, 11 Desember 2013

11.12.13~tak ada

sudah pukul berapa?
pada suara yang bergeligi keheningan
masih adakah yang akan berdecak, atau menabur alibi?
sedang elegi masa telah berlalu di sudut sana
yang bersua dalam rinai hujan pun kian lusuh di genang zaman

sudah tiba kah dirinya?
sosok yang senang kau nanti di ujung senja
saat menyepi malam kau impikan
yang piawai mensyairkan aksara dalam gesek biola kematian
di depan beranda rumah,
kau paku tubuh mematung dan mata yang menelangsa jauh
seakan menggerogoti jejak di atas pasir pantai yang damai

lalu apa sekarang?
sudah lelah kah dirimu menyeruit bayang dua tiga
namun sebiji tetap samar
hari akan selalu sama,
hanya tudung pelangi kan jadi pembeda
setelah hujan reda
maka tak patut jika
kau tarik ulur lingkar waktu di tanganmu itu.
sebab ia jua kan segera berlalu,
walau hanya di sekitar peredaran darahmu
seperti diri mu, yang menanti keajaiban di sisa malam biasa
yang mereka eluh-eluhkan laksana kuncup mawar di akhir tahun
tenang saja! hari ini pun akan menjadi bagian dari kisah biasa.